Goodbye Dokter…

Maret 18, 2010 pukul 6:52 am | Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan komentar

 

Calling….

 

“Assalamu’alaikum…”

Hallo…are you Rara?”

“Yes, I’m. Who is speaking?”

“I’m  Archard, Nouval’s friend.”

“Ok, what happen?”

“Sorry miss…?” (Archard terhenti, tidak melanjutkan kalimatnya).

“Archard? There is something happen?”

“Nouval…” (terhenti lagi).

“Why about Nouval?”

“Nouval got accident by small engine plane.”

“Accident? Nouval…,really?”

“He pass away.”

“………….”

“Raraaa…, Raraaa…, are you oke?

Rara yang sesaat tadi terperanjat berdiri, kini jatuh terduduk di kursinya kembali. Telepon genggam yang semula menempel di telinga, merosot berangsur jatuh ke lantai. Begitu pula microphone yang tergenggam di tangan kirinya bernasib serupa. Tubuh Rara serasa lunglai seketika. Airmatanya tumpah menyiram kedua belah pipinya. Panggilan internasional Archard tak terhiraukan lagi.

Padahal, Rara saat ini lagi bersiap untuk siaran langsung dari bundaran Indosat karena tengah terjadi demo kolosal oleh puluhan ribu buruh.

Seakan terhuyung ia menyeret badannya ke lorong menuju ruang dubbing 3 yang sedang kosong. Setelah merapatkan pintu, tangis Rara sontak pecah. Rara mengekspresikan segenap dukanya dalam raungan tangis yang membahana di ruang kedap suara itu. Ia sandarkan tubuh yang serasa tak bertulang di pojok ruangan. Bergumpal-gumpal tissue telah kuyup, tapi air mata tak jua mampat dari bola mata bulat Rara.

Dokter, maafin aku…maafin aku,” gumamnya.

Betapa hati Rara dikerubuti rasa sedih dan perasaan bersalah sekaligus. Semasa hidup, setidaknya dalam kurun 4 tahun terakhir, dokter Nouval menumpahkan segala perhatian, kasih sayang dan cintanya untuk Rara. Tapi Rara nyaris tak pernah menggubris dan mempertimbangkan kegigihan Nouval. Bukannya Nouval tak menarik, justru cowok berdarah Jerman-Jogya itu teramat sempurna. Tampangnya yang mirip actor ganteng Ari Wibowo_hanya rambut Nouval ikal dan pirang_, dengan kulit putih kemerahan. Tak hanya keistimewaan rupa, Nouval juga memiliki kemewahan akhlak selain juga berlimpah materi.

Kesempurnaan itulah yang membuat Rara ngeri dan merasa tak pantas dicintai pria sekaliber Nouval. Alasan itu pula yang membuat Rara terus berusaha menjauh bahkan dengan cara yang mungkin menyakiti Nouval. Tapi niat Nouval untuk menjadikan Rara sebagai pendamping hidupnya, tak pernah padam. Hal itu dibuktikannya dengan mengambil program spesialis syaraf pada perguruan tinggi terkemuka di salah satu negara bagian negeri Paman Sam. Tatkala studinya hampir rampung, Nouval memaksa Rara untuk mau dioperasi, agar sakit kepala yang sering mendadak menyerang beberapa tahun belakangan ini bisa sembuh permanen. Bersama seorang professor_dosen kesayangannya_ Nouval mempersiapkan segala sesuatu untuk persiapan operasi. Termasuk membeli berbagai peralatan medis ke beberapa kota. Nouval menyarter pesawat kecil untuk pergi belanja peralatan operasi, hingga kecelakaan maut itu terjadi.

*

Alul yang telah siap dengan kamera dan beberapa perlengkapan lainnya, telah beberapa waktu menunggui Rara keluar dari ruang dubbing 3. Ia mengira, Rara tengah mendubbing sebuah script. Tapi sepuluh menit telah berlalu yang ditunggu belum keluar juga, padahal suasana demo di luar sana sudah hiruk-pikuk. Alul mencoba menghampiri ruang dubbing 3, sedikit mendorong pintunya yang tidak terkunci. Dengan posisi pintu yang sedikit menganga, Alul mendapati tubuh Rara meringkuk lemas di pojok ruangan.

“Ra…kamu knapa?” tanya Alul keheranan.

Yang ditanya tak segera menyahut, kucuran air matanya pun masih berderai.

“Cerita donk…kamu ada apa?” bujuk Alul.

“Temenku meninggal,” Rara menjawab lirih dengan segenap energi yang tersisa.

“Siapa, kapan?”

“Dokter, barusan kecelakaan pesawat.”

Alul berpikir dan mengingat sejenak, serasa selintas teringat dokter yang dimaksud pastilah yang waktu itu pernah main ke kantor dan jadi bahan gunjingan sedap hampir seisi gedung karena dikira artis.

“Dokter? Kecelakaan pesawat?”Alul mengulang dan Rara mengangguk.

“Kamu tenangin diri aja kalo gitu, biar digantiin yang lain ya?”

“Jangan…jangan!”

“Ra…kamu jangan maksain diri deh.”

“Enggak…nggak, aku masih bisa kok.”

“Tapi nggak bisa juga, kamu on cam dengan wajah sembab gitu.”

“Bisa kok, aku cuci muka bentar ya,”Rara bangkit dan menghalau badan Alul yang menghalangi langkahnya ke arah pintu.

Alul menarik tangan Rara dan masih mencoba mencegahnya, tapi tidak berhasil. Rara berlalu dan pergi ke restroom. Wajah sembab itu ia usapi dengan facial wash, dibilas air lalu dikeringkan dengan sapu tangan handuk. Sejurus kemudian ia teteskan obat mata untuk menghilangkan mata merah dan menaburkan bedak tipis. Rara berlari kembali ke ruang redaksi, menyambar microphone dan mengajak Alul berangkat. Dua tim lain yaitu Santi dan Awan, serta Lia dengan Anda bertugas memback up liputan Rara dari berbagai titik. Rara tak menghiraukan rekan-rekan sekerjanya yang memandangi wajah yang belum sepenuhnya pulih dari bekas tangisan itu. Dengan berat hati Alul menuruti ajakan Rara meski dibarengi dengan rasa iba.  

Setibanya di bundaran Indosat, puluhan ribu massa dari arah bundaran Hotel Indonesia sudah menjelang halte busway Bank Indonesia dan beberapa jengkal lagi menyentuh bundaran Indosat. Satu unit SNG telah siap di lokasi itu, satu lagi di bundaran HI dan satu lainnya di depan Istana Negara. Rara segera mengambil posisi dekat taman pembatas jalan untuk reportase. Dengan menaiki kursi kecil agar tampak lebih tinggi dan mendapatkan background massa yang lebih luas. Alul dan beberapa kru lain lebih sibuk lagi mengatur peralatan dan komposisi gambar yang harus segera diambil.

“Lul, segini?” Rara menanyakan apakah posisi yang dia ambil sudah tepat.

“Munduran dikit deh, biar dapet posisi MCUg,”pinta Alul.

“Ato pake tangga aja,”teriak Jay dari dekat mobil SNG di pinggir jalan.

“Ya udah, bawa sini deh,”sahut Alul.

Saat Jay hendak mengganti kursi Rara dengan tangga lipat, Rara tak menyadarinya. Matanya berkaca-kaca dan pikirannya melayang entah ke mana. Jay yang bingung menanyakan ke Alul. Alul mendekatinya.

“Ra…udah ya, kalo kamu masih sedih gak usah dipaksain,”bujuk Alul sembari memegangi pundak Rara. Rara terperanjat dan segera menarik secarik tissue dari kantong sakunya. Ia terus berusaha keras menyumbat air mata yang hendak jatuh dari kelopak matanya. Sesekali ia mengedip-kedipkan matanya untuk menahan linangan air mata. Ia menggumamkan basmallah, dan segera menyigapkan diri.

“Siap Lul…,”teriak Rara seraya mengacungkan jempol.

Massa buruh dari berbagai perusahaan se Jabotabek, hampir merangsek ke arah bundaran Indosat. Semua kru buru-buru bersigap. Laporan Rara akan mengisi layar Telkomvision untuk program Berita Seketika.

“Rara stanby yaa…,”kata Alul. Tiga…dua…satu…action!

Pemirsa…,

untuk kesekian kalinya

buruh kembali turun ke jalan

Hari ini, tepat 1 Mei dimana Hari Buruh diperingati

Puluhan ribu buruh dari ibukota dan sekitarnya

hendak mengepung istana…

bla…bla…bla…

Rara berhasil menegarkan diri selama kurang lebih lima menit, untuk menyampaikan berita sekilas tentang aksi buruh yang hari itu melumpuhkan sebagian besar aktivitas di ibukota.

Sementara Lia menyampaikan laporan pandangan mata dari bundaran HI, dan Santi akan menyampaikan laporan serupa dari depan istana kelak jika rombongan massa telah sampai di sana. Meski tidak terjadi chaos, tapi arak-arakan buruh telah melumpuhkan lalu lintas di jalan-jalan protocol di Jakarta. Beberapa insiden terjadi di berbagai titik. Di depan markas besar PBB di Thamrin misalnya, terjadi pembakaran satu armada Trans Jakarta oleh massa tapi berhasil dipadamkan sebelum api membesar dan meledakkan bus itu. Di depan kantor wapres di Jalan Merdeka Selatan terjadi ketegangan antara demonstran dengan para polisi. Picu pasal, para pendemo berkeinginan menemui Wapres Jusuf Kalla tapi para petugas keamanan plus Paspamres yang menjaga gerbang istana menghalau. Dan satu dua keributan di tempat lain, yang kadang terjadi antar kelompok pengunjuk rasa dan seringkali dengan aparat keamanan. Namun kesemuanya bisa diredam sebelum sempat chaos.

Begitu mengakhiri laporannya, Rara berlari menuju mobil liputan yang diparkir di trotoar samping gedung BI dengan air mata kembali berderai. Memasuki mobil, tangisnya kembali lepas. Dani sang driver kebingunan menyaksikan pemandangan langka itu. Soalnya baru kali itu melihat Rara menangis bahkan menangis sejadi-jadinya.

Hik…hik…hik…

Huk…huk…huk…

Dani tak berani menanyai, ia mengerutkan dahi berikut kedua alisnya. Wajahnya terus dihinggapi keheranan tiada habis. Ingin sekali rasanya bisa menghibur Rara, tapi tak tahu apa yang hendak dilakukan. Ia hanya mengulurkan sebotol air mineral.

“Makasih…huk…huuuuuk…” sebotol air mineral dingin tak cukup menenangkan Rara dari rasa pilu yang menyerbu seluruh lorong kalbu. Arus massa terus berarak menuju istana, sesekali mereka yang berada dipinggir kiri jalan melongokkan mukanya ke mobil Persada TV. Sebelum sempat melihat tangisan Rara, Dani keburu membentaknya.

Hampir tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda tangisan Rara mereda. Padahal sebentar lagi ia harus bersiap menyampaikan laporan up date situasi berikutnya di depan kantor RRI. Ingat akan tugasnya, Rara segera menyeka air mata dan “membenahi” mukanya untuk siap on screen lagi.

Hari itu sungguh menjadi hari yang mahaberat buat Rara. Ia harus reportase live beberapa kali ditengah duka yang merundungi hati.

***

 


g Medium Close Up, pengambilan gambar dengan ukuran sepinggang.

Tinggalkan sebuah Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.