Luka Berbalut Tawa

Februari 26, 2010 pukul 7:36 am | Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan komentar

Petang hendak merangkak ke arah malam. Rara dan Karisma disertai dua anak magang Ilham dan Tami dengan diantar Patra selaku pengemudi meluncur menuju Tea Cafe, sebuah kafe di kawasan Kemang. Namun mereka tengah terperangkap dalam kemacetan lalu-lintas yang mengular . Padahal, Rara ada appointment dengan pihak kafe jam 7 malam, untuk  pengambilan gambar tentang tradisi minum teh yang konon telah menjadi gaya hidup.

Selagi panik tidak bisa menembus kemacetan.  HP Rara berdering.

Pasti dari Tea Cafe,” pikir Rara.

Novalino, Andrew

Calling…

“Hallo…”.

“Mbak Rara udah nyampe mana?”tanya Andrew dari seberang telpon.

“Iya, sori mas ini masih macet di tikungan masuk Kemang itu. Masih bisa ditunggu kan?”

“Iya, ngga pa-pa. Ngomong-ngomong kru nya ada berapa orang mbak?”

“Kita berlima sama driver.”

“Oh ya udah, kita tunggu ya.”

“Oke, makasih. Do’ain aku bisa sampe sana ya, he he…soalnya macet gilaaaa.”

Baru aja Rara menutup telpon, mobil kijang berlogo Persada TV itu sudah bisa merambat jalan meski belum kencang. Artinya, kemacetan sudah mulai cair.

“Wah…do’a orang sholeh langsung dikabulkan. Alloh baik banget,”ujar Rara.

“Huuu…,”yang lain menyibir ke arah Rara.

“Lho…baru aja minta dido’ain, belum berdo’a sendiri lho nih.”

Rambatan roda-roda mobil Persada TV kian melaju kencang…

“Mbak…ntar ikutan diramal ya”,pinta Ilham.

“Bayar!”

“Yaaah, perasaan kalo sama Mbak Rara gak ada yang pake bayar.”

“Hemmm, itu biaya konsultasinya Rp.175.000/orang, masa’mo gratis-gratis aja.”

“Sini aja gw yang ramal,”Aris menawari.

“Ah ogah, palingan diramal yang jelek-jelek.”

“Ya iyalah, lelaki lemah gemulai mana ada masa depannya?”cela Rara.

“A..aah,”rajuk Ilham tambah kemayu.

“Eh…Ham, kayaknya PRnya kafe itu matching deh sama elo.”

“Emang kenapa mbak?”tanya Tami.

“Lihat aja,ntar!”

Mobil yang membawa Rara dan rekan-rekan sudah memasuki halaman kafe. Meski sedikit telat, tapi Rara lega juga. Ilham menyamber kotak make up.

“Mbak…,make up mu dibenerin lagi ya,”pinta Ilham.

“Emang berantakan?”

“Makanya kalo dah make up jangan pecicilan mbak!”tukang make up gak professional itu memprotes.

“Dah…ntar aja di dalam.”

“Hallo…halloo, Rara…thanks for your coming,”sapa Andrew segera begitu mobil terparkir.

Aris dan Tami tak kuasa menahan tawa geli.

“Cocok banget Ham,”bisik Tami ke Ilham. Yang dibisiki pengin tersipu kayaknya.

“Ssssttt…,”Aris beri isyarat.

“Andrew…,”Andrew menyalami satu-persatu.

“Karisma.”

“Andrew.”

“Tami.”

“Andrew.”

“Ilham,”Ilham terlihat salah tingkah tatkala lelaki setipenya itu menyalami.

“Kalo yang ini udah kenal banget ya,”ujar Andrew sambil menunjuk Rara.

“Yuk…yuk masuk, udah ditunggu.”

Suasana Tea Café itu emang cozy, sangat pas buat melepas kepenatan usai jam kerja. Beberapa pengunjung menyebar di berbagai sudut ruangan. Kebanyakan dari mereka tak hanya nongkrong tapi berteman laptop. Entah sembari mengerjakan tugas kerja atau sekedar browsing dan chatting.

Di bagian depan sebelah kasir, terpajang tiga rak memanjang dengan sekat kotak-kotak yang memajang beraneka ragam jenis the dari local hingga import. Rara dan kru mencermati isi rak itu dan mereka baru tau ternyata species teh itu ada ratusan jenisnya.

Menariknya, di kafe itu para pengunjung tidak hanya bisa ngeteh sembari hangout, tapi seorang pembaca tarot juga berpraktek di situ. Salah satu adegan yang akan diambil malam itu adalah ruang praktek pembaca tarot, dimana Rara sebagai host juga terlibat menjadi “korban” yang akan diramal.

Ilham menyeret Rara mencari tempat duduk di pojok ruangan.

“Ssst…duduk diam dulu,”Ilham menekan pundak Rara agar terduduk.

Mula-mula Ilham menyapu muka Rara dengan selembar tisu lalu memoleskan lagi make up hingga kembali rapi.

Setelah Ilham merapikan make up Rara, pengambilan gambar langsung dilakukan. Aris tengah mengintip Rara dari balik layar LCD kamera seraya mengarahkan posisi yang tepat. Ilham yang jadi asisten kameramen memberi aba-aba dengan gemulainya. Standby…camera roll…3…2…1…action!

Pemirsa, anda tak hanya bisa ngeteh sembari hangout. Di Tea Café, anda yang iseng pengin menerawang masa depan, ada pembaca tarot di sini. Penasaran, yuuk kita longok!!”

Dalam adegan itu Rara mengajak pemirsa menengok tempat praktek pembaca tarot. Di dalamnya, duduk seorang peramal paruh baya tengah menanti. Wanita berpenampilan eksentrik itu menggenggam dan membolak-balikkan kartu tarot. Rambutnya menjuntai panjang menggimbal terurai. Kepala diikat selendang bak Renny Jayusman. Gemerincing gelang-gelang tulang melingkari pergelangan tangan kiri-kanannya.

“Halo, malam, Bu Tari?”

“Rara?Silakan duduk!”

“Coba Rara bikin tanda tangan dulu di sini!” perintah Tari si pembaca tarot itu.

Rara menurutinya dengan menggoreskan tanda tangan di sehelai kertas.

“Wah…tanda tangannya kok ruwet gini. Aku sarankan tanda tangannya yang simple deh. Calon orang-orang besar tuh tanda tangannya simple bahkan bisa kebaca,”saran Tari.

Lalu Tari menyodorkan segepok kartu.

“Sekarang pilih kartunya.”

“Yang bagus yang mana bu?Pilihin yang bagus aja bu.”

“Oh ya udah, sini.”

“Cut…cut…!”teriak Rara memotong adegan.

 Rara, presenter yang merangkap produser ini memberi sedikit arahan ke peramal.

“Ibu jangan nurut aja dengan permintaan saya. Seharusnya kartu ini diambil secara acak kan? Tapi Rara mo ambil yang bagus-bagusnya aja karena takut ketahuan pemirsa, sifat aslinya. Oke, nanti ada perdebatan kecil ya bu?”

Akhirnya adegan itu diulang dan berlangsung mulus sesuai scenario.

“Ok…cut!”teriak Ilham mengakhiri scene ini.

Setelahnya, Tami dan Aris menyelesaikan liputan dengan mewawancarai Andrew serta para pengunjung café. Pengambilan gambar juga dilengkapi peragaan penyajian teh ala tradisi kerajaan china kala dulu lengkap dengan kostum para bangsawannya.

Usai menyelesaikan syuting Aris, Ilham dan Tami ikut nimbrung Rara ke ruang praktek Tari.

“Kita juga donk bu.”

“Aku mau bu.”

“Ya udah, semuanya bikin tanda tangannya di sini,”Tari membagikan kertas.

“Kalo aku gimana bu?”tanya Rara.

“Aduh…kamu tuh gawat yaa. Killing me softly,”ungkap Tari.

Tari terus melanjutkan ramalannya tentang Rara tanpa bisa dicegah. Menurutnya, Rara orangnya sinetron banget. Ia hebat karena paling bisa menutupi kesedihannya. Selain karena lihai berperan, Rara disinyalir memang sangat dekat dengan Tuhan sehingga ia sandarkan semuanya pada Tuhannya. Itu yang membuatnya kuat. Padahal, Tari membaca Rara senantiasa didera problema.

“Kalo orang lain, mungkin sudah bunuh diri Ra,”celetuk Tari.

Rara langsung clingukan ingin memastikan bahwa temannya tidak mendengar ramalan tentang dirinya. Tapi telat, mata mereka terbelalak seolah tak percaya dengan omongan peramal itu. Rara buru-buru mempersilakan teman lainnya untuk diramal.

*

“Makanya Ra…,kalo punya masalah itu cerita-cerita, jangan tahu-tahu bunuh diri,”sindir Aris saat meluncur pulang menuju kantor.

Rara tidak bisa menjawab, untung HPnya bunyi sehingga ada alasan mengalihkan pembicaraan. Ada pesan SMS masuk:

From: Atma Priangkasa (+62818699664)

Date : 27 /03/2007            Time: 22:21:42

Lagi dmana?

 

To        : Atma Priangkasa (+62818699664)

Di jalan menuju kantor, knapa? Engkau dmana?

From: Atma Priangkasa (+62818699664)

Date : 27 /03/2007            Time: 22:22:13

Ngga pa2. Di Mega Kuningan.

 

To        : Atma Priangkasa (+62818699664)

Mo ketemuan?

 

From: Atma Priangkasa (+62818699664)

Date : 27 /03/2007            Time: 22:23:00

Takut, hatiku masih nyeri rasanya.

 

To        : Atma Priangkasa (+62818699664)

Ya udah, aku nyusul situ. Tunggu!

From: Atma Priangkasa (+62818699664)

Date : 27 /03/2007            Time: 22:23:59

Ok.

 

“Ris, boleh ngga aku turun duluan?”tanya Rara.

“Kmana Ra, jangan bunuh diri lho!”ledek Aris.

“Mo, ketemuan ama temen.”

“Yakin lu, ngga pa-pa?”

“Ngga, engga kenapa sih? Kalo mo bunuh diri pasti gw kabari. Gw miscall ntar.”

“Pak, aku turun sebelum fly over Casablanca itu ya,”pinta Rara ke Patra.

“Mau diantar sekalian apa?”

“Ngga usah deh pak, makasih.”

Rara berpamitan dengan semua teman-temannya di mobil lalu langsung memberhentikan taxi yang kebetulan lewat. Di dalam taxi menuju Mega Kuningan, hati Rara mulai gundah. Meski besar keinginannya untuk menemui Atma, tapi ia khawatir pertengkaran besar bakal terjadi lagi.

Rara mengamati mobil-mobil yang parkir di pinggiran lapangan bola komplek Mega Kuningan, dan mendapati salah satunya adalah mobil Atma. Rara melongok kaca mobil memastikan Atma di dalamnya. Atma membuka kaca mobil dan mengulas senyum terpaksa.

Sudah hampir 15 menit mereka duduk berdua di jok mobil. Namun belum sepatah katapun meluncur dari mulut masing-masing.

“Sepi ya,” Rara menyindir.

Atma menoleh, menatap dalam-dalam wajah Rara.

“Aku cuma ngga pengin nyakiti dirimu,”Atma membuka kata-kata.

“Tapi aku bingung kalo kamu diam. Walau gmanapun, bicara akan lebih baik, persoalan akan cair.”

“Percuma.”

“Kalo percuma, aku pergi aja.”

“Mau aku bilangin berbusa-busa, kamu tetap memilih jalanmu sendiri. Jadi percuma kan?”

“Aku tuh ngga ngerti ya mas, kamu menghakimi aku seolah-olah aku mengkhianatimu.”

“Aku gak bisa melihat kamu bareng Tedy.”

“Memang kita pernah berkomitmen untuk bersama?”

“Kan kamu tahu aku ada Erna.”

“Ya sudah, trus salah aku jalan sama Tedy?”

“Jangan sebut nama ituuuu…,”teriak Atma.

“Kamu jangan egois, kamu juga ada Erna.”

“Erna itu sudah ada jauh sebelum aku kenal dirimu.”

“Dan aku sakit hati, kamu tidak memiliki keberpihakan yang cukup terhadap diriku.”

“Waktu itu aku harus meredam kemarahan Erna karena dia cemburu sekali sama kamu.”

“Iya, kamu hanya ngurusi dia sampe melupakan gmana perasaanku?”

“Kalo saja kmu tau betapa dalemnya perasaanku terhadapmu,”Atma menggumam.

Malam kian menua namun pertengkaran itu malah menghebat. Rara masih melanjutkan omelannya.

“Kamu tuh ngrasa paling bener sendiri, dengan berpihak pada tunanganmu. Jadi apa artinya diriku, haaah?”

“Rara tolong pahami donk dilemaku.”

“Jangan memperalat dilema itu jadi alasan pembenar untuk mengenyampingkan aku!”

“Kamu juga dengan mudahnya berpindah ke Tedy.”

“Sori ya, waktu itu aku memang ngrasa udah kehilanganmu.”

“Trus, kamu pacaran kan sama dia?”

“Kamu gampang banget ya ngejudge orang lain. Cinta kamu tuh cinta egois.”

“Iya…iya, Tedy lebih berlimpah uang, dia big bos, dia atasan aku dan pastinya aku gak ada apa-apanya. Dia yang paling bisa membahagiakan kamu,”Atma naik pitam.

“Heh mas, jangan kayak anak kecil deh. Ini gak ada hubungannya sama harta benda dan kekayaan ya. Picik sekali cara pandangmu.”

Terdiam berdua beberapa saat.

“Kalo kamu tetap sama Tedy, itu artinya melukai aku,”suara Atma memelan.

“Tapi kamunya boleh sama Erna?”

“Kamu jadian sama Tedy?”

“Belum, tapi kalo kamu tanya-tanya terus, ya jadi.”

“Ya udah, sana…!!! Tapi kalo sayang aku, putusin dia!”

“Belum tersedia alasan untuk membencinya?”

“Tuh… kan, aku terluka say…,”ungkap Atma.

“Mas…aku sayang sama kamu,”ucap Rara bersungguh-sungguh tanpa terbersit unsur bohong© sedikitpun.

Atma hendak membuka suara, tapi Rara keburu mengayunkan jari telunjuknya menutup bibir Atma.

“Ini statement, tidak untuk dibantah,”tegas Rara.

“Kamu gak usah menghiburku, ini semua sudah gak ada artinya.”

“Gak ada artinya, really?”

“Hmmm,”Atma menatapi wajah innocent Rara.

“Bilang…kalo kmu gak sayang lagi. Dan kita gak usah ketemu lagi!”pekik Rara.

Atma tak kuasa mengeluarkan kata-kata lagi dan langsung menghidupkan mesin mobil. Honda Jazz biru metalik itu meluncur keluar ke jalan raya Casablanca. Atma melajukan mobilnya sangat kencang, buncahan emosi masih mengiringi perjalanannya.

“Kalo mo bunuh diri jangan ngajak-ngajak,”teriak Rara.

 Cowok berkulit bersih bertubuh ramping itu tak menyahut. Kekalutan hatinya sungguh tengah meradang.

“Mas…kamu tuh cinta sama marah, gedean marahnya ya…?”

Komunikasi masih tetap berjalan searah. Atma masih melajukan mobilnya 80km/jam.

Padahal, Atma biasa mengemudikan mobil dengan sangat lembut, sembari menarik tangan Rara untuk diletakkan di atas gagang persneleng. Tangan keduanya bertumpukan sambil memindah-mindahkan gigi persneleng. Rara pun merasa berbunga-bunga selagi berada di mobil Atma. Cowok bermuka teduh penuh wibawa. Di mata Rara ia teramat sempurna, smart dan penuh ide-ide cemerlang. Selain penyabar, Atma juga dikenal arif dalam menyelesaikan berbagai persoalan di kantor. Tak ayal, ia menjadi tumpuan bagi teman-teman sekantornya sebagai tempat mengadu. Apalagi ia adalah Kepala Perwakilan Surabaya Today  di Jakarta yang membawahi puluhan wartawan dan AE.

Hanya saja, belakangan sikap Atma jadi kekanak-kanakan semenjak Rara dekat dengan Tedy yang adalah Komisaris Utama Surabaya Today. Kegundahan Atma wajar, karena Tedy juga menawarkan sejuta pesona. Sebagai bos, Tedy sangat rendah hati dan tidak kalah penyabarnya menghadapi kebengalan Rara. Bahkan, Tedy juga mempersilakan Rara tetap berhubungan dengan Atma. Karena Tedy tahu, kegembiraan Rara tatkala bersama Atma.

“Aku sayang kamu, dan tujuan aku hanya kamu bahagia. Aku tidak akan memaksamu untuk bersamaku, jika kebahagianmu bersama orang lain, misalnya,”tutur Tedy suatu ketika.

“Atma, kenapa kamu jadi keras gini. Aku hampir tidak mengenalimu lagi,”seru Rara dalam hati.

Kali ini, Atma juga tidak melibatkan telapak tangan Rara lagi untuk turut mengganti gigi persneleng.

Lamunan Rara sontak buyar, begitu Atma menginjak rem secara mendadak. Sedan Volvo hitam menyalip dan berhenti persis di depan mobil Atma. Rara mengenali mobil itu dan melarang Atma turun.

“Peluk aku, buruan!”pinta Rara.

“Apaan sih?”

Tok tok tok…cowok yang keluar dari mobil Volvo itu mengetuk kaca pintu mobil Atma.

“Mas, aku boleh bicara sama Rara?”kata laki-laki itu.

“Oh ya, silakan!”

Rara tak bergeming.

“Kamu gak kenal juga main silahkan, silahkan aja.”

“Itu Verdi bukan?”

“Makanya…”

“Ra…,”panggil Atma sambil memberi isyarat agar Rara menuruti keinginan Verdi.

“Ra…ayolah, nanti malah gak selesai-selesai.”

Rara keluar dari mobil dan disambut Verdi. Atma mengawasi dari dalam mobil dengan harap-harap cemas.

“Sayang…kamu apa kabar?”tanya Verdi penuh kerinduan.

“Plak…plak…plak…,”telapak mungil Rara mendarat ke wajah oriental itu.

Yang digampar tak membalas, hanya mengelus pipinya yang memerah.

“Ayo dik, tampar lagi kalo itu membuatmu puas,”Verdi memajang mukanya.

Rara mengeratkan kepalan tangannya. Barisan gigi atas dan bawah beradu, gemeratak.

“Dhiaaass…dhasss…,”beberapa tinju menghujani muka Verdi.

“Bunuh aku dik…bunuuuh…!”Verdi merunduk menekuk lututnya.

“Enak banget cuma dibunuh.”

“Iya…lakukan apa saja asal adik memaafkan aku.”

“Memaafkan, katamu?” Rara menyeringai geram.

Sementara Atma masih gelisah mengamat-amati adegan itu dari balik kaca mobilnya. Sempat membuka pintu mobil dan hendak turun melerai, tapi Rara berteriak meminta Atma tidak ikut campur. Rara sedang menikmati menghajar korban yang tak berdaya di depannya.

“Aku tau kesalahanku sungguh besar dan tak termaafkan, tapi…”

“Nah…tuh tau.”

“Tapi dik…Tuhan aja maha pemaaf.”

“Jangan memperalat nama Tuhan untuk mendapat maafku.”

Verdi masih merunduk dan kini memegangi kaki Rara untuk memohon maaf. Rara menendangkan kakinya. Verdi tak peduli dan tetap menggapai kaki Rara lagi.

“Dik…gmana keadaan Vic?”

“Apa pedulimu…?”

“Dia anak kita dik…”

“Anak kita…kamu bilang?”

“Ada darahku yang mengalir di tubuhnya.”

“Kalo perlu darahnya aku cuci biar bersih.”

“Tapi ada sejarah yang tidak bisa kamu pungkiri,”Verdi masih ngeyel.

“Sejarah itu aku putus, sampai di sini!” cetus Rara seraya berlalu.

“Sayang…sayang…,”teriak Verdi mengejar.

Ditariknya tangan Rara dan Rara mengibaskannya.

“Kamu sudah membuat pilihan, jangan minta aku untuk meralat konsekuensinya!!!”Rara menyelesaikan kata-katanya lantas masuk mobil.

Tok tok tok…

“Jalan mas.”

“Selesaikan dulu Ra…,”saran Atma.

“Ja..laannn!!”

Atma menuruti, dan Verdi teriak-teriak mengejar mobil Atma. Cowok berbody atletis,  yang selalu tampil parlente itu tak menghiraukan harga dirinya lagi.

“Rara…Ra…tunggu!”

Yang dipanggil tidak menggubris, terus pergi tanpa meninggalkan rasa belas secuilpun. 

***


© biasanya Rara bercanda

Tinggalkan sebuah Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.