Jurnalis Tak Ada Matinye…

Februari 26, 2010 pukul 7:43 am | Ditulis dalam Uncategorized | Tinggalkan komentar

Qodratnya peraturan, itu untuk diakali dan disiasati lalu dilanggar. Begitu prinsip orang hukum yang satu ini. Background hukum tak membuatnya jadi orang taat hukum atau peraturan, malah kian lihai berkelit dari jeratan peraturan yang melilitnya. Pun, darah jurnalis semakin memupuk kebengalannya dalam melawan beraneka peraturan. Sebab menurutnya, banyak peraturan yang tidak efektif berlaku sebagai akibat tidak membuminya ia. Belum lagi para petugas di lapangan yang senantiasa membabi-buta dalam melaksanakan, tanpa kearifan dalam menyerna dan menerjemahkannya.

Mula pertama, Rara meributkan peraturan kantor yang mewajibkannya absen tak terkecuali para jurnalis. Mobilitasnya yang tinggi terkadang menyulitkannya kalo harus absen sidik jari terlebih dulu di kantor.  Padahal adakalanya syuting dilakukan pagi-pagi buta dengan lokasi di pinggiran kota. Lokasi syuting lebih mudah ditempuh langsung dari rumah daripada harus absen ke kantor dulu. Dan tersedia banyak contoh teknis lainnya yang menggambarkan betapa peraturan absen datang dan pulang itu tidak efektif untuk karyawan berkategori wartawan.

Tapi dasar kantor berita pemerintah, jadi meskipun status pers tapi perlakuan PNS. Dan  benar saja manakala peraturan itu diberlakukan, bisa ditebak rekap absen siapa yang paling ancur. Dan Rara tidak mempedulikan itu, karena baginya penilaian kinerja yang fair bukan dari penuhnya absen tapi berdasarkan takaran result. Banyak karyawan yang patuh absen datang jam 08.00 dan pulang pukul 17.00 tapi sepanjang hari main game atau kegiatan lain yang tak produktif. Lalu bagaimana dengan para kru tivi yang karena alasan teknis kesulitan memenuhi absen?

Baru bicara peraturan internal kantor saja, persoalan tlah menghadang. Apalagi di luaran sana, begitu seringnya kru tivi mendapati kendala gara-gara peraturan yang tak ramah media. Protap pengamanan presiden salah satu peraturan yang paling parno di dunia. Setiap kali Rara atau krunya ke istana selalu saja terjadi perdebatan di ruang pemeriksaan tamu mengenai ketentuan pakaian. Petugaspun tidak memiliki kesatuan pandang tentang kriteria pakaian yang sopan. Yang mereka tau, celana bluejeans tidak diperkenankan karena tidak sopan.

“Eh…eh…itu pake jeans ya…,”Paspampres meneriaki Rara yang melewati gapura X-ray.

“Ih bapak…ini bukan bluejeans pak. Warnanya aja pink bahannya soft gini,”Rara ngeles.

Irfan si Paspampres mendekat hendak mencubit paha Rara guna memeriksa bahan celana Rara.

“Eh bapak mau ngapain? Pelecehan itu pak,”Paspampres tersentak dan mundur.

“Ya udah…sana, sanaa…mau ke mana sih?

“Saya cuma mau ke biro pers, ngurus ID Card pak. Nggak nemui presiden, enggak…”Rara ngledek sambil berlalu.

“Ya udah sana…,”Paspampres enggan berdebat lagi.

“Tuh pak, kalo mau menertibkan yang kayak gitu,”Rara menunjuk bule yg pake rok mini.

“Dia pake rok bahan.”

“Tapi mini, emang sopan?”Rara memberi pandangan.

Sheila dan Awan cekikikan menyaksikan Paspampres dikadalin sama Rara. Tamu bule yang mengenakan rok di atas lutut, cukuplah untuk mengalihkan perhatian. Padahal jelas-jelas celana Rara berbahan jeans, warnanya saja yang pink ke arah maroon. Beberapa gelintir Paspampres masih percaya kalo yang benar-benar dilarang itu celana bluejeans, jadi kalo bahan jeans bukan warna blue masih debatable.

“Mbak…itu Paspampres panik juga ya dibilang pelecehan?”Sheila masih tertawa geli.

“Ha…ha…ha…,”Awan dan Rara tertawa geerrr.

“Bikin peraturan tapi gak punya pedoman.”

“Dieyel sedikit dah goyah, ha ha.”

Bertiga terus melaju melintasi jalan panjang komplek istana untuk menuju ruang biro pers dan media yang terletak di gedung sayap timur. Mereka menenteng berkas data kru yang didaftarkan untuk ngepos di lingkungan istana.

“Pagi pak…,”sapa Rara&Sheila kepada petugas humas.

“Pagi…Persada ya. Kebiasaan, paling telat kirim berkas,”Toni ngedumel.

“He…he…,”bertiga nyegir tak merasa bersalah.

“Karisma, Awan, Rara, Santi,”Toni memeriksa satu persatu data kru.

“Trus kamu siapa?”

“Sheila pak…?”

“Gak ada namamu?”

“Ya belum pak, saya kan anak baru ntar disusulkan,”Sheila beralasan.

“Lah…tadi kok bisa masuk?”

“Yah…pak, ke sini aja masa’ gak boleh?”

“Ini punya Rara mana foto copy KTPnya?”

“KTPnya dah gak berlaku.”

“Trus ngepos di istana gak punya identitas?”Toni mempertanyakan.

“Itu kan ada foto copy SIM dan Paspor?” Rara berujar.

“KTP…?”

“Ya ampun…SIM kan juga kartu identitas pak?”Rara ngotot dikuti Sheila.

“Ah si bapak…,”Sheila turut memprotes.

“Tapi syaratnya foto copy KTP,”Toni menegaskan.

“Paspor itu tidak lebih kuat pak?”Awan membela.

“Lagian saya dapet SIM dan Paspor kan karena punya KTP dulunya?Payah pak toni nih…”

Toni si pegawai Biro Pers dan Media Istana Kepresidenan mempertimbangkan sejenak…

“Ok pak…,”Rara memastikan.

“Makasih pak…,”Sheila dan Awan berpamitan.

Tiga makhluk ngeyel itu berkelebat pergi meninggalkan Toni yang masih ragu-ragu menerima berkas Rara.

*

“Ntar aku turunin di kantor ya,”Rara meminta Awan yang hari itu nyetir sendiri mobil kantor.

“Yah…ikut kita aja mbak,”ajak Sheila.

“Iya Ra…pliiisss,”Awan merengek.

“Knapa sih liputan pake diantar-antar?”

“Ambil gambar gardu induk PLN itu pasti ribet,”Awan mengeluh.

“Ribetnya?”

“Dulu itu kan juga gak bisa Ra, harus izin sana-sini pake surat.”

“Itu kan dulu, kamu jagonya candid kan?”

“Ikut ajalah, daripada gak dapet gambar?”Awan memohon.

“Tuh ada Sheila jagonya ngeyel.”

“Tapi Rara kan emaknya ngeyel.”

“He he…,”berdua meledek.

“Udah mas, kita culik aja mbak Rara,”usul Sheila.

Keluar dari pelataran kantor Sekretariat Negara Awan melajukan mobilnya terus menuju Cililitan tanpa menurunkan Rara ke kantor dulu. Rara hanya geleng-geleng tapi tak terlalu melawan diculik anak buahnya sendiri.

Kali ini Rara menugasi mereka untuk mengangkat persoalan krisis listrik. Di Jakarta, tiap hari terjadi pemadaman listrik bergilir. Para pengusaha berteriak karena kegiatan produksi pabrik terganggu dan mengakibatkan kerugian tak terkira. Penduduk ibukota juga kesal dengan listrik yang byar-pet padahal tarifnya baru saja naik tapi layanan bukannya membaik malah sering dilakukan pemadaman. Kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah. Kekesalan kumulatif dari berbagai kalangan pengguna listrik benar-benar tengah menumpah. Dalam situasi seperti itu, berbagai asset PLN tengah dijaga ketat baik dari demonstran ataupun media.

Awan merapatkan mobilnya ke pinggir jalan Cililitan sambil merayap pelan. Gardu induk PLN kebetulan berasa di sisi kiri. Sheila membuka separoh kaca jendela dan menyalakan kamera.

“Ayo mas, sambil jalan…,”Sheila mengambil gambar follow.

“Gak masuk Ra,”tanya Awan.

“Amankan gambar longshot nya dulu,”saran Rara.

“Yah…gak bagus mbak terhalang kawat-kawat,”Sheila mengeluh.

Gardu induk PLN itu memang dipagari kawat keliling, jadi ketika diambil gambar longshot tidak bisa clean terhalang kawat.

“Dah turun dulu aja.”

Rara mengajak Sheila mendekati letak gardu dari pagar dan mengambil gambar dari celah-celah kawat. Selagi Sheila memasang kamera, petugas mengetahui.

“Hei…ngapain?”teriak petugas yang berlari dari pos jaga.

“Cepet-cepet “rec”…,”pinta Rara.

“Iya-iya…,”Sheila sigap merekam sebelum petugas sampai  mendekat.

Jarak pos petugas dengan lokasi Sheila menyuri gambar lumayan jauh, puluhan meter sehingga masih ada waktu merekam gambar beberapa saat.

“Sedang apa di sini?”pertanyaan petugas yang tak perlu.

“Ambil gambar…,”berdua koor menjawab tanpa dihinggapi rasa salah.

“Harus ijin dulu, kirim surat dari kantor. Dari mana ini?”

“Persada.”

“Tivi mana itu?”

“Bapak tau Kantor Berita Indonesia?”

“Iya…,”petugas mengangguk ragu pura-pura tau.

“Ya itu…”

“Ya tapi harus tetap ijin dulu.”

Petugas mengajak mereka masuk ke area kantor PLN. Sheila memberi  kode Awan untuk membawa mobil masuk mengikuti mereka. Mobil telah diparkir, Awan turun bergabung dan mengambil alih kamera. Rara mengajak mojok dan ngobrol petugas itu menanyakan prosedur perizinan untuk mengambil gambar gardu listrik. Rara mengeluarkan blocknote nya dan pura-pura mencatat setiap informasi yang diberikan petugas. Tapi Rara sudah mengerling ke Sheila juga Awan sebagai isyarat agar  mereka segera beraksi.

“Jadi kirim surat dulu ya pak?”

“Iya, ajukan dulu aja permohonannya,”ujar petugas.

“Ntar responnya berapa lama pak?”

“Beberapa hari atau paling lama seminggu lah.”

“Jadi seminggu kemudian baru kita boleh ambil gambar?”Rara menanya gak perlu.

“Ya pokoknya kalo sudah aja jawaban dari atasan.”

“Oh ya, nanti surat ditujukannya ke siapa pak?”

Petugas dengan panjang lebar memberi penjelasan ke Rara yang memang sengaja memperlama pembicaraan. Di seberang mobil sana, Awan dan Sheila tengah khusuk ngesyut gardu PLN terlarang itu dari berbagai angle. Rara menoleh sebentar ke arah Awan dan Sheila mengacungkan jempol.

“Ok deh pak…makasih banyak.”

“Nanti dikirim dulu ya mbak suratnya.”

“Oke.”

“Kalo sudah ada ijin sih, silahkan mau ngesyut mana aja,”ujar petugas pede.

Wuakaka wk wk….,”Rara ketawa dalam hati.

“Yuk…,”Rara menghampiri rekan-rekannya.

Berpamitan sekali lagi dan meluncurkan mobil keluar dari daerah terlarang itu.

“Dapet kan gambar?”Rara memastikan.

“Ya dapetlah…,”Sheila dan Awan cekakakan.

Betapa  bangganya mereka telah berhasil mengelabuhi petugas secara berjamaah. Dalam perjalanan kembali ke kantor, Sheila buru-buru mempreview hasil gambar yang diambil dengan hidden camera tadi.

“Dapet kok mbak, tuh…,”Sheila menunjukkan layar LCD.

“Gitu aja pake ijin, kelamaan…”

*

Jalan ke arah kantor tak mudah ditempuh. Kalo gak macet bukan Jakarta namanya. Siang itu kondisi lalu-lintas seperti Jakarta lazimnya, macet di berbagai titik jalan protocol. Yang bisa dilakukan warga ibukota hanyalah menebalkan kesabaran. Jika tidak, bakal menabung stress tiap hari dan lalu mati selekasnya. Meski jatah umur di tangan Tuhan tapi segala problema ibukota pantaslah dituduh sebagai contributor gejala stress akut kolektif warganya.

Tapi Awan, seperti halnya Ozi rekannya terlatih memperlakukan mobil liputannya sebagai kendaraan emergency setara ambulance atau pemadam kebakaran. Lampu hazard kerap kali dinyalakan manakala ruwetnya lalu lintas sudah diambang ketidakwajaran. Mobil berantakan malang-melintang semaunya, saling mendahului  tanpa disertai sopan-santun.

Berkat kepiawaiannya berkendara, Awan mampu menerobos segala hambatan di jalan. Kini mobil berpenumpang tiga orang itu tlah hampir berkelok di pertigaan Gambir menuju Jalan Merdeka Selatan.

“Eh minggir…tunggu…,”Rara berteriak.

“Knapa?”

“Ambil gambar itu,”Rara menunjuk alat pendeteksi polusi.

Awan menginjak rem dan meminggirkan mobilnya di seberang kantor Kedubes Amerika.

“Apa sih…?”

“Itu alat, seumur-umur baru kulihat tulisannya “Tidak Sehat”, biasanya selalu “Sedang”,”terang Rara.

Di pojok jalan itu terpajang “Pollution Standard Index”. Ada 3 kategori yang terdeteksi pada alat tersebut: Baik, Sedang dan Tidak Sehat. Sehari-harinya alat itu slalu memunculkan tulisan “Sedang” meskipun waktu pagi sekali saat belum banyak kendaraan melintas atau siang kala kendaraan padat dan asap tebal mengepul. Maka Rara meminta Awan mengabadikan gambar alat pendeteksi polusi yang kali ini menyebutkan udara Jakarta “Tidak Sehat”.

Bertiga turun, Awan menenteng kamera dan Sheila mengangkut tripodnya. Awan memancang tripod di depan sedikit samping kanan dari obyeknya. Posisi ini berseberangan dengan pos pengaman Kedubes AS, dimana para petugasnya berseliweran hilir-mudik mewaspadai setiap aktifitas manusia di sekitarnya. Kadang, tingkat kehati-hatian yang tinggi  membuatnya sering tampak bodoh berlebihan. Dan benar saja, kegiatan Awan dan teman-temannya mengambil gambarpun jadi obyek kecurigaan mereka. Beberapa petugas keamanan kedutaan merangsek mendekati kru Persada TV.

“Heh…kalian ngesyut apa?”tanya salah satu petugas penuh su’udhon.

“Kalian dilarang ambil-ambil gambar kedutaan,”kata petugas yang lain.

“Sssttt…,”Rara ngajak Awan pura-pura gak dengar.

Berdua memperhatikan hasil bidikan lensa yang tampil via LCD. Sheila ikut mengerubuti kamera.

“Heh…kalian gak boleh ngesut kedutaan!”bentaknya.

“Bapak ngga liat apa, ke arah mana lensanya?”

“Liat aja tuh monitornya, ngesyut apa?”

“Kantor kedutaan lho di sana, kamera ngadep ke sono. Gmana seh…?”Rara menggaris jidatnya dengan tanda slash.

“Tetep aja gak boleh.”

“Gak boleh ambil gambar di sekitar sini!”petugas ngotot tanpa dasar.

“Batasnya mana? Wilayah kekuasaanmu mana?”Rara menantang.

“Pokoknya gak boleh di sekitar sini. Kalian dari mana sih?”

“Nih…,”Sheila memperlihatkan ID Card yang menggantung di lehernya.

“Tuh… logo di mobil segede dosa gitu gak liat?”Awan menunjuk mobilnya.

“Persada TV?”

“Tau ngga, Kantor Berita Persada?”

Para petugas saling berpandangan.

“Kalian bule dari mana sih, bule Depok? Sama bangsa sendiri kayak gitu,”Rara menyeramahi.

“Baru jadi penjaga kedutaan asing aja, lagaknya…ckckck.”

“Bos kalian lho, bentar lagi digeruduk PKS, mau diusir dari Indonesia.”

Rara dan Sheila bersahutan menyumpah-serapahi para petugas keamanan itu. Belakangan memang kedubes AS acapkali menjadi sasaran demo kolosal umat PKS terkait agresi Israel ke Palestina. Para pengunjuk rasa menghendaki duta besar AS diusir dari Jakarta karena dinilai sebagai sponsor Israel. Para petugas itu keder juga ditakut-takuti begitu.

“Wan…udah kan gambarnya?”

“Beres…”

“Ya udah yuk…”

“Buang-buang waktu aja, ngeladeni petugas overacting…”gerutu Rara.

Mereka ngacir meninggalkan para petugas menuju mobil, tapi Rara & Sheila belum puas rasanya mencaci-maki makhluk-makhluk tak berotak itu. Berdua menolehkan wajahnya ke arah petugas dan lantas memalingkannya dengan kecepatan tinggi. Dibuangi muka begitu, tertegun dan ngeper juga mereka.

*

Bencana yang melanda Padang akibat gempa berkekuatan 7,6 scala Richter itu mengharuskan Rara segera membawa kru terbang ke kota di Sumatera Barat itu. Selagi packing persiapan keluar kota, Rara menghubungi Tedy.

Calling…

Hok, Tedy

“Pink…,”Tedy menyahut.

“Ted, I am going to go to Padang tomorrow morning.”

“Ok, What can I do for you?”

“May I entrust Vic to you?”

“Of course, I’ll pick her up.”

“No, not necessary. I am going to send her to Surabaya.”

“How is the way?”

“She will go by airplane.”

“Alone?”

“Yup.”

“Really, are you sure?”

“She has to brave to go alone.”

“Ok, but you have to accompany her to check in.”

“Yes, I will.”

“Ok, take care your self.”

“Ok.thanks for your kindness.”

“You’re welcome.”

“Bye…”

Rara lalu membujuk Vic agar berani terbang sendiri ke Surabaya. Rara menjelaskan bahwa semua akan diurus, diantar sampai check in dan gadis cilik itu tinggal naik ke pesawat. Beruntung Vic gak rewel apalagi dijanjikan ada Papa Tedy yang menjemputnya di Bandara Juanda.

Dini hari, Rara bergegas bangun karena pesawat Sriwijaya Air yang akan menerbangkan Vic ke Surabaya take off pukul 05.30 dan harus check in 1 ½ jam sebelumnya. Husna, sepupu Rara sengaja menginap di rumah Rara untuk membantu persiapan dan mengantar ke bandara.

“Sayang…ayo bangun sayang…,”Rara membangunkan putri kecil itu.

“Mama jadi pergi?”tanya Vic sambil menggeliat ngantuk.

“Ya jadi, makanya kamu ke rumah papa aja.”

Meski sedikit perjuangan membangunkan Vic, tapi harapan akan bertemu papa Tedy membuat Vic semangat membuka matanya. Mereka harus melakukan persiapan dengan cepat dan langsung meluncur ke bandara. Pukul 03.45 mereka tiba di airport, Husna menunggu di luar. Rara mengantar putrinya menuju ruang check in. Melewati pintu masuk Rara ditegur petugas bandara karena tiket yang dipegangnya cuma satu.

“Mengantar putri saya check in pak?”

Sang petugas melihat gadis cilik yang digandeng Rara, tergerak hati membolehkan Rara masuk. Lolos dari pintu X-Ray, masih dihadang dua petugas lagi yang melarang Rara masuk.

“Mbak, sampai di sini aja.”

“Pak, saya tuh cuma mau nganterin check in?”

“Ngga bisa mbak, mbak harus pake pass, harus izin,”jelas petugas.

“Izinnya ke mana?”

“Di sana, di ruang di menara sebelah sana,”petugas menunjuk menara di seberang jauh.

“Trus, jam segini kantornya dah buka?”Rara mempertanyakan.

Petugas gak menjawab pertanda gak yakin.

“Pak, tolonglah…putri saya tuh masih kecil, baru delapan tahun. Bapak liat?”

“Yah…tapi ini peraturan?”

“Bapak dini hari gini ngajak pemanasan? Peraturan emang gak ada kebijakan?”

“Peraturan ya peraturan!” petugas berkeras.

Rara membalikkan badan petugas dan menunjukkan tempat check in yang hanya berjarak 20an meter.

“Nah…pak,saya cuma mau ngurusi check in di situ. Bapak bisa lihat dari sini.”

“Mbak tunggu dari sini saja!”tegasnya.

“Bapak gak lihat anak saya masih sekecil ini? Anda tuh gak ada pikirannya ya…”

“Mbak yang gak ikut peraturan.”

“Eh pak, peraturan itu yang jalankan manusia, manusia itu ada otaknya,”cetus Rara.

Diceramahi begitu petugas sewot dan kembali ke pintu X ray tempatnya bertugas memeriksa barang bawaan penumpang. Rara memutar otak untuk mengelabuhi petugas. Tak lama petugas lain melintas. Dilihat dari kewibawaan dan atribut seragamnya  Rara menduga keras yang ini atasan dari petugas yang tadi.

“Pagi pak…”

“Pagi …”

“Pak…saya mau minta tolong…,”Rara melancarkan jurus rayuannya.

Bapak petugas yang bijak itupun membolehkan Rara mengurus check in hingga membayar airport tax buat putrinya. Rara berterima kasih dan merangkul petugas itu untuk diajak melangkah menjumpai anak buahnya yang tadi mengasarinya.

“Pak…nih boleh sama bapaknya, wk…,”Rara memamerkan.

Petugas itu hanya mengangguk dan tersenyum kecut.

Usai check in Rara menitipkan putrinya pada salah satu awak pesawat. Setelah saling bertukar nomor kontak, Rara mewanti-wanti Wenny kru Sriwijaya Air untuk menjaga Vic.

“Titip putri saya ya pak.”

“Baik.”

“Terima kasih banyak ya.”

“Sayang…kamu ikuti bapak ini ya. Ntar diantar sampe masuk pesawat.”

“Di sana dijemput papa kan?”

“Iya, papa Tedy jemput Vic. Be carrefull honey, have a nice trip,”Rara mengecup kening Vic.

“Bye mom…”

“Bye…”

Berdua saling melambai tangan. Keluar dari ruang check in Rara masih was-was. Ditemani Husna, ia mencegati para pramugari Sriwijaya Air yang akan terbang ke Surabaya.

“Mbak…”

“Mbak…pramugari Sriwijaya Air yang akan terbang ke Surabaya?”

“Iya, ada apa mbak?”

“Gini…putri saya sekarang di ruang tunggu sama pak Weny. Dia akan terbang sendiri, nitip dia ya mbak?”

“Oh…baiklah. Saya akan jaga nanti.”

“Ok…terimakasih. Boleh saya catat no kontak?”

Beberapa pramugari dicatat nama dan no kontaknya dan dipesan untuk menjaga putrinya. Rara seperti senewen mengantar kepergian putrinya terbang sendiri untuk pertama kalinya. Berkali-kali ia juga menghubungi Tedy untuk memastikannya sudah meluncur ke bandara menjemput Vic.

To : Tedy Hok

Help me for keep my daughter, please!

Vic is my princess and the most important person in my life.

Thanks for your kindness.

Setelah memastikan semua ok, Rara bergegas menuju terminal Garuda untuk terbang menuju Padang. Husna mengantarnya hingga pintu check in. Rara berpamitan dan berlalu menuju ruang check in.

***

Tinggalkan sebuah Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.