Gara2 Ra2

Februari 6, 2010 pukul 5:49 am | Ditulis dalam Uncategorized | 2 Komentar

Episode: Funky2 Forever

Memasuki lobi kantor, Rara nyaris berpapasan dengan Dirut Kantor Berita Persada Afni Maula. Rara masuk dari pintu utama sedangkan Afni dari pintu samping. Sebelum si bos sempat memergokinya, Rara mempercepat langkah kakinya menuju lift. Beruntung ada satu lift yang sudah menganga pintunya, bersegera ia memasukkan tubuh mungilnya sambil berharap si bos tidak sempat menyusul masuk di lift yang sama. Tapi harapan jahatnya tidak terkabul.

Iiih…,gak enak bener satu lift sama si bos,”Rara membatin.

Afni orang terakhir yang masuk lift yang sudah penuh itu sehingga posisinya persis di depan pintu. Rara menggeser badannya makin ke pojok sambil merogoh sekenanya kertas-kertas dari dalam tasnya, lalu pura-pura baca untuk menghindari ngobrol sama bos. Lantai demi lantai tlah terlewati, pintu lift membuka dan menutup mengantar para karyawan ke ruangan kantor mereka. Satu demi satu penumpang lift meninggalkan Rara dan Afni yang menuju lantai 19. Ruangan lift mulai melonggar dan Afni bergeser ke belakang.

“Eh Rara…,”sapa bos ketika membalikkan badan.

“Pagi pak…,”sapaan balik Rara.

“Aduuuh…kamu cerah bener hari ini. Ini seragam hari Rabu ya?” Afni menyindir.

Kostum Rara hari ini ngejreng, warna pink metalik. Padahal hari Rabu seharusnya pake seragam.

“Iya pak,”Rara menjawab enteng.

“Seragam dia memang pink pak. Senin pink, selasa pink, rabu pink…,”sahut security yang mengoperasikan tombol lift.

“Everyday is pink,”Rara memantapkan ejekan itu.

“Kamu memang suka pink?”tanya bos.

“Enggak…”

“Trus…?”

“Jalan hidup,”jawab Rara sekenanya.

Seisi lift tertawa geli.

“Oh ya Ra…tadi kayaknya ada cowok nyari kamu,”Afni mengabarkan.

“Siapa pak?”

“Mana saya kenal, kan penggemarmu banyak. Kayak artis sih tapi bule.”

“Oh…”

“Aha…iya, kayak sapa iklan fatigon itu?”

“Ari Wibowo?”

“Ya…ya, bener banget kayak kembarannya Ari Wibowo tapi rambutnya pirang ikal.”

“Ya pak, makasih ya.”

“Lho…kamu gak temui dulu.”

“Ya…gampang nanti pak.”

“Yah…Rara, cowok keren gitu ditelantarkan. Ckckck….”

“Hmmm…yuk pak…”

“Ya…sukses ya Ra…”

“Thanks pak.”

Keluar lift Rara langsung ngeloyor ke tempat mesin absen. Mesin yang musti dihampirinya setiap pagi dan malam hari, sehari dua kali. Menyebalkan, tapi itulah peraturan yang memaksa “korban” menunaikannya. Meninggalkan mesin absen lalu masuk ruangan dan duduk manis, nyalain computer. Lagi khusu’ membalas email-email dan message yang masuk ke facebook…

“Rara…,”seseorang bersuara berat memanggilnya dari belakang kursi. Rara kaget bukan kepalang.

“Aduh…Deka ngagetin aja.”

Yang dimarahi malah mengumbar senyum.

“Rara sibuk ya?”

“Biasa.”

“Perlu dibantuin ngga?”

“Enggak,”jawaban singkat yang ketus.

Teman-teman Rara yang sudah mulai berdatangan, tertawa geli menyaksikan adegan Rara digodain sama cowok autis di suatu pagi, pagi sekali.

Dijawab ketus-ketus tak membuat Deka beranjak, malah mengambil kursi dan duduk menyebelahi Rara. Karuan saja Rara kian sewot.

“Rara sibuk apa sih sampe gak bisa diganggu?”Deka mengajukan pertanyaan yang relatif sama, gak penting dan gak perlu.

“Hemm…,”Rara malas menjawab.

Tidak memperoleh respon positif, tak membuat si autis pergi berlalu. Pertanyaan-pertanyaan datar berulang masih saja diajukan.

“Deka…!”

“Oh ya…Ra…kamu mau dibantuin?”

“Sungguh…kamu mau bantu?”

“Iya…iya,”jawab Deka bersungguh-sungguh.

“Tinggalin aku!”

“Yah…kok begitu?”tanya Deka dengan muka bodoh tak berdosa.

Rara beranjak dari kursi dan Deka mengikuti. Ditatapnya Deka dengan sorot mata penuh intimidasi. Yang dipelototi ngeri juga dan perlahan berjalan berlalu. Tatapan Rara masih membututi punggung Deka, memastikan hingga cowok aneh itu benar-benar keluar dari ruang redaksi tivi. Dalam perjalanan menuju pintu keluar, Deka masih sempat menoleh ke belakang tapi bergegas memalingkan wajah takutnya begitu mendapati Rara masih memandangi.

“Hyaaa…h!”Rara membentak dengan menghentakkan kaki layaknya mengusir seekor ayam.

Deka mempercepat langkahnya, terbirit-birit. Kontan tawa pecah seisi ruangan. Sepeninggal Deka, gosip mengenai keunikan dirinya menyeruak.

“Gitu-gitu itu anak pemilik Rumah Sakit Arifa lho,”terang Iboy si editor.

“Wah tajir banget donk…,”teriak Lia gemes.

“Anak mami banget, tapi.”

“Lu ntar dilabrak maminya lho,”Iboy menakuti Rara.

“Heh…”

“Iya, dia  itu katanya orang yang gak pernah nyentuh tanah ya.”

“Begitu keluar lobi udah dijemput mobil, keluar mobil udah langsung masuk rumah.”

Tak terasa anak-anak tivi yang pagi itu terlibat penggosipan Deka sudah duduk rapi semua mengelilingi meja bundar. Beberapa diantaranya telah menggelar makanannya di meja. Di kantor ini, tidak ada cerita makanan milik pribadi semuanya milik bersama. Kecuali Santi, karena alasan higienitas ia tak pernah mau berbagi makanan dalam situasi darurat sekalipun. Selainnya, siapapun yang bawa makanan langsung digelar di meja untuk selanjutnya disantap siapa saja yang menginginkannya. Begitupun pagi itu, mulai dari gorengan, lontong sayur sampe rujak udah tersaji di meja mengiringi gemuruhnya gosip tentang si autis.

“Tapi jangan salah lho, gitu-gitu anaknya pintar. Kalo ngga, gak bakal kepake di Persada,”bela Iboy.

“Masa’ sih, tampangnya o’on gitu?”

“Iya emang, tapi pinter. Di atasl tugas dia translate ke bahasa Inggris,”jelas Iboy.

“Oh ya…?”

“Dia juga bikin analisa pasar uang. Analisa dia tuh banyak dipake sama Reuters, pokoknya lakulah,”Iboy masih gencar membela Deka.

Iboy  melawan arus di tengah pandangan miring teman-temannya terhadap Deka.

“Ah…dia ngomongnya kan suka asal.”

“ Kemarin di depan lift nyalami pak Hardi sambil bilang:anjing,”Ana menyontohi.

“Nah itu dia, dia tu lugu banget jangan sampe diajarin kata-kata kotor. Dia akan ucapkan di sembarang tempat.”

“Sama teman-temannya diceritain soal seks dan istilah-istilahnya. Eh dia jadi ngomong sembarangan, di rapat pernah kayak gitu,”cerita Iboy disambut gelak tawa.

“Tuh anak keterbelakangan mental atau apa sih?”

“Bukan. Kalo keterbelakangan mental itu bodoh,”Ratri menerangkan.

“Iya, tanya Ratri tuh masuk kategori apa dia?”saran Iboy.

Ternyata Ratri yang sarjana psikologi juga tidak berhasil mengidentifikasi jenis “penyakit” Deka.

Selagi rumpian menjalar ke segala analisa, kedatangan Anda menginterupsi suasana. Anda memaksa masuk kantor dalam kondisi menggigil demam.

“Knapa Nda?”tanya anak-anak tivi.

“Dah kayak kucing kurap kecemplung got aja,”komentar yang lain.

Anda duduk bergabung dalam majelis redaksi tivi dengan dikerubungi segenap kru. Ada yang memeriksa kening dengan punggung telapak tangan dan lantas membandingkan terhadap suhu pantatnya. Ada pula yang membuka-buka kelopak mata Anda, layaknya dokter memeriksa pasien. Sebagian lain, menyuguhkan seluruh makanan ke hadapan Anda.

“Asyhadu Alla illaaha illalloh…,”Rara menyalami tangan Anda dan menuntunnya bersyahadat.

“Iya Nda,kmu tuh masuk Islam biar sehat,”bujuk Ozi.

“Ayo…ayo…,bismillahir rahmanirr rahiim…,”Rara melanjutkan ajarannya.

“Apa-apain sih ini. Kalian mau menjerumuskan aku?”Anda mengibaskan tangannya.

“Daripada jadi Kristen gak jelas gitu, ke gereja juga enggak,”cela Rena

“Eh jam 8 gw ke Kejagung,”Rara memotong guyonan teman-temannya.

“Lu ke lapangan Ra?”tanya Lia.

“Iya…knapa? Si Tami gak masuk soalnya, sakit.”

“Lha…ntar yang jaga gawang siapa?”Santi khawatir

“Gampanglah, ntar gw koordinasi dari luar.”

“Naskah?”

“Kirim ke email deh…”

“Ya udah, cepet balik ya Ra.”

“Abis wawancara ntar gw tinggal, biar Ozi VJ aja.”

“Jalan Ra…?”

“Yuk…”

Ozi langsung bergegas mengambil kamera.

“Ini mic nya,”Ozi menyerahkan microphone ke Rara.

“Gw duluan yaa,”pamit Rara.

“Daaa…”

Belum sempat Rara & Ozi pergi keluar…

“Ra…ada telpon nih…,”Santi dari pojok ruangan mengacungkan gagang telpon.

“Siapa…?”tanya Rara sembari mendekat.

“Dari front office…”

“Hallo….”

“Mbak Rara…ini ada tamu,”Lina mengabari dari seberang telpon.

“Siapa…?”

“Bule mbak, namanya Nouval,”Lina sedikit berbisik.

“Biar tunggu di situ aja.”

*

“Hei…a.. pa kabar Rara…? Apakah Rara sehat-sehat saja?”sapa Nouval dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

“Baik dok…,ngapain ke sini?”

“Lho…jangan panggil saya dokter. Saya Nouval datang untuk menjumpai Rara.”

“Anda yang memperlakukan saya seperti pasien?”

“Oh…maaf kalau begitu. Tapi Rara sehat, bukan?”

“Sehat kalau ngga diganggu.”

“Oh…apakah saya mengganggu?”dokter spesialis syaraf itu merendah.

“Begitulah…”

“Tapi saya mau bicara-bicara mengenai hubungan kita?”

“Hubungan…,memang kita punya hubungan?”

“Iya…tentang kita?”

“Wah…halusinasi loe…,”Rara menuduh.

“Ssssttt…,”Ozi melerai.

Tampaknya Ozi tidak tega menyaksikan si bule dipermainkan Rara. Naluri “kewanitaannya” pun mulai menggeliat.

“Ra…mending buat gue aja nek…,”Ozi mengedip genit.

“Lu tuh ya…kalo ada cowok melek dikit langsung aja keganjenan. Gak jelas.”

“Kita kan AC-DC bo…,”Ozi menyentil pundak Rara dengan jemari yang mengriting.

Ozi terus membujuk Rara agar memperlakukan dengan baik, tamu yang sudah jauh-jauh datang dari California itu.

“Tapi aku lagi mau kerja nih…buru-buru,”ujar Rara.

“Boleh diriku mengikuti kamu ya?”Nouval memohon sambil menepuk dadanya seraya merunduk.

“Mo ngapain, ini liputan.”

“Tidak apa-apa, saya mau ikut saja ya.”

“Udah…ajak aja,ntar buat lucu-lucuan,”bisik Ozi.

“Boleh juga…,”Rara girang dapet mainan baru.

“Ok…let’s go…!”

Seperti biasanya Ozi tidak meminta supir untuk mengantarnya liputan. Karena supir yang tersedia rata-rata sudah tua dan bermental PNS yang tidak memahami ritme kerja kru tivi dengan load tinggi. Daripada diantar supir yang menyertainya dengan keluh kesah, Ozi lebih suka menyetir sendiri.

“Bagaimana kalo menggunakan mobil saya?”Nouval menawari.

“Mobilmu mana?”

“Ini…,”Nouval menunjuk seraya berjalan mendekati mobilnya.

“Mau liputan pake ini?”Rara menunjuk mobil Land Cruisernya Nouval.

“Ya udahlah Ra gak usah diperdebatkan, malah keren kan,”Ozi membujuk.

Rara menyeret Ozi menuju mobil liputan Persada TV, Nouval berlari kecil mengejar keduanya.

“Kita pake mobil liputan aja.”

“Menggunakan mobil ini?”

“Iya knapa, jelek? Ada masalah?”

“Tidak…tidak…,”Nouval bergegas menyetujui sebelum kena semprot.

Ozi geleng-geleng prihatin melihat bule teraniaya itu. Saat mobil mulai meluncur meninggalkan Wisma Persada, betapa girangnya Rara. Lagu Baby Doll milik Utopia diperdengarkan oleh radio kesayangannya.

“Kuajak kau melayang tinggi,

dan kuhempaskan ke bumi.

Kumainkan sesuka hati,

lalu kau kutinggal pergi…

Ozi menambah volume suara radio.

“Kenapa Zi…?”

“Lagu kebangsaanmu kan?”

“Tahu aja…,”sahut Rara tanpa tersipu.

“Ya tahulah…kamu paling demen kan kalo cowok dalam keadaan teraniaya gitu?”

“Nov…when you arrived in Jakarta?”Ozi mulai menyapa Nouval yang duduk di sebelah.

“I just arrived in airport this morning.”

“Halaah…lu jangan ngomong bahasa Inggris sama dia, biar dia yang bicara bahasa kita.”

“Biarlah Ra…daripada dia maksain bahasa Indonesia, susah gitu?”

“Lu gak punya nasionalisme lu.”

“Lu sama Tedy juga in English?”

“Beda, kalo Tedy dah jadi WNI.”

Mobil Ozi masih melaju kencang menyusuri jalan Sudirman dengan penumpang tak ber-seatbelt.

“Zi…Ziii..Ziii…,”teriak Rara saat polisi menyetop mobilnya.

Ozi membuka kaca mobil.

“Selamat pagi…,”sapa polisi

Rara melongok lalu turun mobil.

“Hey…Amri?”sapa Rara dengan menyalami sok akrab.

“Hi…,”balas polisi itu bingung.

“Sekarang dinas di sini? Ya ampun gw susah banget nyari lu, nomormu ganti ya? Nomormu donk,”Rara nyerocos tak memberi kesempatan lawan bicaranya berpikir.  

Yang ditanyai mesam-mesem dikerumuni tanda tanya. Rara mengeluarkan hp dan meminta nomor hp polisi itu.

“Aku miscall yaa? Kapan-kapan makan siang di Semanggi yuuk!”ajak Rara.

“Boleh, deket sama markas,”jawab Amri setengah ragu.

“Eh ntar kalo lu udah ada waktu, kabarin ya?”

“Oke, thanks. Seneng ketemu kamu,”Amri membual.

“Bye…,”Rara memasuki mobil.

Ozi masih heran dengan sikap Rara yang akrab banget sama polisi yang menilangnya.

“Temen lu, Ra?”

“Bukan.”

“Kenal?”

“Enggak,”Rara menggeleng.

“Haaah…lu kibulin dia?”

“He..he…,”Rara cengengesan.

Ozi dan Nouval geleng-geleng.

*

Memasuki area liputan berarti tiba saatnya Ozi tebar pesona.

“Hallo…hallo, selamat pagi semuanya.”

“Telat lu.”

“Bo’ong, kalian aja nyantai gitu.”

“Eh…tuh di dalam mobil siapa?”tanya para wartawan.

“Ari Wibowo ya?”

Segerombolan reporter dan kamerawan merangsek ke arah mobil Persada TV, mereka mengira ada Ari Wibowo di dalamnya.

“Bukan…bukan…, itu cowoknya Rara kok buat keroyokan gitu sih?”Ozi mencegah dengan penuh iri.

Nouval bingung bukan kepalang jadi kerumunan para pemburu berita.

“Heh…heh…bubar…bubar…kayak gak pernah liat bule aja,”Ozi membubarkan konsentrasi massa.

“Wuih…ganteng banget gila,”ujar salah satu reporter penuh gemes.

“Buat gue aja Ra.”

“Ambil aja…!”

“Widjanarko belum datang kan?”Ozi segera mengalihkan bahasan.

“Kayaknya gak datang deh,”jawab Ali dari koran Merdeka.

“Trus…?”

“Palingan pengacaranya.”

“Datang…datang tuh pengacaranya,”teriak para wartawan saat Hendra Brata, pengacara Widjanarko Puspoyo memasuki teras Gedung Bundar.

“Pak Widjan ke mana pak, sakit ya pak?”,celetuk wartawan. Sudah tradisi belakangan ini para tersangka kalo lagi mao diperiksa mendadak sakit. Alasan paling ampuh untuk menghindari interograsi dari penyidik.

“Iya, bapak lagi demam tinggi. Pagi ini saya atas nama klien saya akan melapor ke tim penyidik,”jelas Hendra.

“Soal aliran dana dari PT TDU 1,2 juta dollar itu?”Rara memotong basa-basi Hendra dengan pertanyaan yang langsung menukik.

‘Tidak ada aliran dana itu, klien kami tidak ada menerima transfer apa pun,”Hendra mencoba ngeles. Selanjutnya ia mengeluarkan kertas skema aliran dana dari Vietnam Southern Food. Dalam penjelasannya, Hendra selalu membelokkan substansi persoalan.

Sementara puluhan kamera dan tape recorder tengah merekam keterangan pers itu, Rara terus menyela pertanyaan yang membuat kesal Hendra.

“Tapi penyidik menyatakan indikasi dana illegal mengalir ke PT ABIL saat impor beras itu berlangsung,”Rara meneriakkan pertanyaan karena suasana sangat gaduh.

“Tidak ada, dana yang mana itu?”

“Sumpe lu?”sela Rara.

Karuan saja Hendra sewot.

“Eh kalian tuh belajar hukum ya, biar tahu persoalan.”

“Kita udah belajar hukum, makanya tahu ilmu ngeles nya pengacara,”sahut Rara.

Dicela begitu Hendra langsung pergi meninggalkan kerumunan para kuli flashdisk itu.

“Yah…Rara sih…kabur deh dia…”

Sepeninggal Hendra, anak-anak itu kembali bergerombol duduk-duduk di teras menunggu para saksi kasus dugaan korupsi impor beras Bulog, diperiksa.

“Hari ini ada berapa saksi?”

“Kayaknya lima orang, salah satunya pejabat aktif Bulog.”

“Kenal muka nya ngga?”

“Enggak.”

Obrolan diantara wartawan itu acapkali buyar manakala ada kendaraan mewah melewati teras atau orang-orang parlente yang dicurigai sebagai koruptor atau saksi yang dipanggil Kejagung.

Setiap orang yang dicurigai turun dari mobil mewah, wartawan melontarkan pertanyaan secara gambling aja.

“Mau diperiksa ya pak? Sapi atau berasÃ?”celetuk wartawan.

Ketika ada orang yang dicurigai lewat lagi, para kamerawan langsung menyorotnya sedangkan para reporternya teriak:
”Pak, sapi apa beras?”mencoba memastikan dalam kasus apa dia diperiksa. Lama kelamaan para wartawan menertawakan prilaku mereka sendiri.

“Abis gak jelas,”keluh salah satu kamerawan.

Sementara di parkiran, Nouval tengah gelisah dikurung dalam mobil. Ia putuskan untuk keluar dan menyusul Rara saja meski beresiko jadi pusat perhatian.

“Eh…eh…mau kmana? Masuk, masuk…!”Rara mendorong tubuh Nouval.

“Masihkah Rara lama?”

“Tadi siapa yang suruh ikut?”

“Tidak ada yang menyuruh, semua mau saya.”

“Masuk…ntar dikeroyok cewek-cewek itu, mau?”

Bule na’as itu hendak membututi tapi Rara berbalik dan  menariknya masuk mobil. Ozi menyusul dan menyegah Rara agar tidak berbuat kasar lebih jauh lagi. Berdua kembali ke teras Gedung Bundar Kejagung.

“Ra…salah dia apa sih kmu aniaya begitu?”

“Biar aja, biar kapok.”

“Biar kapok?”

“Ya biar gak ngejar-ngejar gue lagi.”

“Tapi salah dia apa?”

“Dia terlalu,”jawab Rara singkat mengundang tanya.

“Terlalu? Terlalu bagaimana?”Ozi pengin tau.

“Terlalu ganteng, terlalu pinter dan terlalu kaya.”

“Haa…hhhh….???”

*


l lantai 20 tempat redaksi tulis

à Dua kasus yang sedang disidik Kejagung  yaitu kasus impor beras dan impor sapi fiktif.

2 Komentar »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. hahaha, endingnya lucu mbak

    • hehe…endingnya doank yg lucu ya…:(


Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.